
Latar Belakang Perang Salib
Perang Salib adalah serangkaian peperangan yang terjadi antara umat Kristen Eropa dengan Kaum Muslimin. Perang Salib ini merupakan konflik terbesar antara umat Islam yang tengah berkuasa di sebagian Eropa, Afrika Utara dan Asia, melawan Kristen yang baru bangkit dan berusaha merebut kota Yerusalem. Disebut Perang Salib seakan-akan faktor agama merupakan faktor yang dominan, akan tetapi sebenarnya agama bukanlah faktor satu-satunya faktor yang terpenting, sebab Perang Salib merupakan akumulasi beberapa faktor.
​
A. Faktor Agama
Direbutnya Baitul Maqdis (471 H) oleh Dinasti Seljuk dari kekuasaan Fathimiyah yang berkedudukan
di Mesir menyebabkan kaum kristen merasa tidak bebas dalam menunaikan ibadah di tempat
sucinya. Ketika idealisme keagamaan mulai menguap, para pemimpin politik kristen tetap saja
masih berfikir keuntungan yang dapat diambil dari konsepsi mengenai Perang Salib, dan untuk
memperoleh kembali keleluasaannya berziarah ke tanah suci Yerussalem. Pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II berseru kepada umat Kristiani di Eropa supaya melakukan perang suci. Seruan Paus
Urbanus II berhasil memikat banyak orang-orang kristen karena dia menjanjikan sekaligus
menjamin, barang siapa yang melibatkan diri dalam perang suci tersebut akan terbebas dari
hukuman dosa. Selain itu, Paus juga menjanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di
Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
​
B. Faktor Politik
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan
bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada
abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan
ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara
dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini.
Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas
dikuasainya Yerusalem yang berada jauh di Timur sampai ketika mereka
sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-
bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan
tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil
memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran
Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur. Titik balik lain yang
berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika
pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah
memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu Kekalahan Byzantium(Constantinople/Istambul) di Manzikart pada tahun 1071 M,dan jatuhnya Asia kecil dibawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comneus (kaisar Constantinople) untuk meminta bantuan Paus Urbanus II, dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti Saljuk. Dilain pihak Perang Salib merupakan puncak sejumlah konflik antara negara-negara Barat dan negara-negara Timur, maksudnya antara umat Islam dan umat kristen. Dengan perkembagan dan kemajuan yang pesat menimbulkan kecemasan pada tokoh-tokoh Barat, sehingga mereka melancarkan serangan terhadap umat Islam. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa kristen di Eropa untuk merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Yerussalem, Damascus, Edessca dan lain-lainnya.
C. Faktor Sosial Ekonomi
Semenjak abad ke X, kaum muslimin telah menguasai jalur perdagangan di laut tengah, dan para pedagang Eropa yang mayoritas kristen merasa terganggu atas kehadiran pasukan muslimin, sehingga mereka mempunyai rencana untuk mendesak kekuatan kaum muslimin dari laut itu. Hal ini
didukung dengan adanya ambisi yang luar biasa dari para pedagang-
pedagang besar yang berada di pantai Timur laut tengah (Venezia, Genoa
dan Piza) untuk menguasai sejumlah kota- kota dagang di sepanjang
pantai Timur dan selatan laut tengah, sehingga dapat memperluas
jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian
dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat
perdagangan mereka, karena jalur Eropa akan bersambung dengan rute-
rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut.
Disamping itu stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari
tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan dan ksatria.
Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat tetapi mereka sangat tertindas dan terhina. Oleh karena itu ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik, mereka menyambut seruan itu secara spontan dan berduyun-duyun melibatkan diri dalam peperangan tersebut, sehingga rakyat jelata beramai-ramai pula mengikuti mobilisasi umum itu dengan harapan yakni untuk mendapatkan perbaikan ekonomi.


